[Cita-Cita]


Prolog: Tiba-tiba aku teringat kartun Upin-Ipin tentang Cita-Citaku; Bila Besar Nanti.

Bagi anak kecil, begitu mudah kan, mengatakan “Ini, cita-citaku”
Mei-Mei, guru.  Ehsan, koki. Fizi, petugas kebersihan. Jarjit, wartawan. Upin, astronot. Ipin, saintis roket. Mail, usahawan.
Tapi apa cita-cita hanya berlaku bagi anak kecil? Sayangnya aku lupa isi dialog ketika Upin dan Ipin bertanya kepada Opah, “Apa cita-cita Opah?”
Ditanya tentang ‘seharusnya’ ; jika merujuk pada pendidikanku di SMK akuntansi dulu, maka ‘seharusnya’ aku jadi akuntan (atau lebih rendah dari itu; minimal masih terkait bidang ekonomi). Jika merujuk pendidikan ilmu perpustakaanku semasa kuliah, maka ‘seharusnya’ sekarang dengan bangga aku bisa mengatakan I’M A LIBRARIAN. Tapi faktanya, aku bergelut di bidang komunikasi sekarang. Apa iya ini adalah cita-citaku?
Dilihat sekilas, aku seperti orang yang tidak konsisten. Kenapa tidak mengambil jalur linier saja? What should I say?
1.      Secara egois, aku akan katakan “bosan”
2.   Secara kemampuan akademis, entah ternyata “aku tidak begitu menguasai bidang keilmuanku sendiri”
3.      Secara jiwa petualang, “ingin belajar ilmu yang lain”
4.      Secara keadaan (cinta maupun terpaksa), “karier inilah yang tepat untukku saat ini.”
5.      Secara peluang, “kebetulan ini yang cocok”
6.      Dst.
Benar saja pepatah sak ombo-ombone alas, iseh ombo alasan. Seluas-luasnya hutan, masih luas alasan. Dasar manusia.
Bukankah cita-cita itu adalah harapan hidup beserta visi-misinya? *ahh… rasanya kata yang ilmiah sekali.
Entahlah, aku sendiri merasa abstrak dan tak mudah mengatakan apa cita-citaku sekarang. Apakah berarti aku tak punya cita-cita hidup? Yang jelas : Ihdinasshiraatal mustaqiim… Aamin.
Khairunnaas anfa’uhum linnaas… (Sebaik-baik manusia adalah yang bermaanfaat bagi sesamanya). Everyone has each way. Masing-orang memiliki caranya sendiri. Apapun jalan hidup yang kita pilih saat ini, dan yang akan datang, semoga itu adalah yang terbaik dan kita dapat melaksanakan dengan sebaik-baiknya; senantiasa dalam ridha-Nya. Billaah… dan Lillaah…
**Yogyakarta, 15 Februari 2015**
Epilog: Di akhir menulis ini, aku jadi teringat kalimat Muhammad Haidar Ali, sahabatku. “Cita-citaku adalah memiliki cita-cita.” Memang terlihat dia seperti orang yang tak memiliki cita-cita. Tapi apa yang berhasil dia dapatkan selama ini, justru membuktikan bahwa dia mungkin lebih dari seseorang yang ‘sekadar bercita-cita’.

0 comments :

Post a Comment

Visitor