Selalu menyenangkan ketika berbicara
tentang kata pulang. Pulang sekolah, pulang kuliah, pulang kerja, pulang
kampung! (Yang terakhir ini paling menyenangkan. Hehe.)
Jam tujuh baru masuk ke kelas, udah
ngebayangin, “Idih, jam pelajaran masih lama.”
Masuk kuliah baru datang malah mikir, “Dosen
terhormat hadir nggak ya? Kalau nggak kan, pulang aja nih.”
Kerja baru berangkat, sambil mantengin
jam, “Waaahhh…, delapan jam lagiii…”
Bahkan tak pikir-pikir yo, Rek. Aku, dulu waktu di asrama, yang
punya aturan boleh pulang ke rumah hanya satu bulan sekali itu, perasaan hari-hariku
cuma buat nungguin waktu kapan pulang
aja. Nggak berguna banget kan.
Sumber gambar: andreeino.deviantart.com
Tentang kata pulang…, ya, seolah kita sedang
dalam suatu perjalanan, karena ada sesuatu yang sedang dikehendaki, dan ada
suatu saat yang membuat kita ingin
pulang, atau harus pulang. Karena ada sesuatu
yang dirindukan.
Jika didefinisikan secara sederhana saja
(aku nggak begitu paham jika harus menganalisis secara etimologis maupun
epistimologis, haih, opo kui!),
pulang adalah kembali ke tempat dari mana kita berasal. Menyenangkan, bukan?
:-) Tapi nggak berarti apa yang kita lakukan sebelum pulang harus sia-sia, tak
ikhlas, atau sekadarnya saja, hanya gara-gara satu alasan: ingin segera pulang.
Itu sama saja dengan mengejar senja yang sempurna, tetapi melupakan pagi begitu
saja.
--Skip--
Dan ini adalah tentang pilihan: apakah
kita akan menikmati atau justru mengumpat perjalanan kehidupan.
--Skip--
Menyenangkan, membosankan, bukankah itu
masalah hati?
--Skip--
Tersenyum itu bukan selalu soal keadaan,
tapi kesempatan juga pilihan.
--Skip--
Episode kangen rumah.
“If
you’re gone for so long, at least bring a great gift home” (Avivah Ve).
“Kamu boleh jauh dari orang tuamu, tapi
jangan jauh dari Yang Menciptakanmu.” (Pesan anak rantau, Bapak Ibunya
Ehsanuddin).
**Yogyakarta, 6 Maret 2015**
Lalu, bagaimana tentang pulang ke
Rahmatullah?
0 comments :
Post a Comment