Ibuku
punya sebuah setrika arang yang di bagian depannya ada patung jago. Aku ingat
terakhir kali ibu menggunakan setrika itu saat aku usia TK. Bersyukur untuk
hadirnya setrika listrik, sehingga untuk ‘melicinkan’ pakaian tak perlu kembang kembis niupin arangnya atau kipit-kipit seperti lagi ngipasin sate.
(Terima
kasih ya, untuk ilmuwan penemunya, pembuatnya, distributornya. Oh ya, untuk
penyedia listriknya juga, tentu buat simbah Thomas Alva Edison ikut terlibat
juga di sini. Jazakumullah. Terima kasih
untuk bumi yang indah ini, menyediakan segala kebutuhan untuk makhluk yang
hidup di atasnya. Yang utama pastinya, Thanks
God. Alhamdulillah…. )
Sumber gambar: tokoantiekretro.blogspot.com
Kupikir
itu terakhir kali aku bertemu dengan setrika arang. But I’m wrong.
Usia
sekolah menengah atas, aku belajar di SMKN 1 Ngawi. Empat bulan di awal, aku
nge-kost. Dua bulan di kost Bu Parman bersama Ayu dan Mayang. Ya hanya dua
bulan. Si bu kost ceyewet beuuddtt…
Walau di antara kedua temanku, aku yang intensitas dimarahinya paling rendah.
Tapi gerah juga rasanya. Pindah deh.
(Belakangan
jadi sadar, kami yang salah. Bu Parman selalu marah-marah itu saat kami boros
penggunaan air. Atau lupa menampung tetesan keran air PDAM dengan ember. Dia
mengajarkan betapa berharga air dalam kehidupan ini. Hanya karena caranya
mengajar yang berbeda, kami menjadi tidak peka. Justru menutup telinga. Maaf,
Bu…)
Dua
bulan selanjutnya –masih dengan Ayu dan Mayang-, ngekost di tempat Bu Rulli,
seorang single parent yang hebat
dengan tiga anaknya. Seorang pendidik. Karena sakitnya, harus rela kehilangan
satu payudaranya, dan rambutnya harus rela pula dipotong sangat pendek. Proud of you, Mom! *Big Hug*
Hanya
dua bulan juga aku di situ, bukan tak betah. Tapi ada sesuatu (entah itu apa) yang membuatku tertarik ke tempat yang
lain. Pondok Pesantren Daarul Qur’an Beran. Mungkin karena sahabat sebangku di
sekolah, Nyenk Tri Wahyuni, juga di
sana. Aku menjadi ingin juga. (Semakin ke sini, ibuku dan ibunya justru yang
semakin klop. Sampek tak pikir yo Cah, akrabku karo Nyenk Tri wae kalah).
Nah,
di PonPes itulah, aku dipertemukan kembali dengan setrika arang. Duh Gusti. Aku mulai belajar
mengoperasikan benda kuno itu. Jangan
ditanya berapa bajuku yang bolong-bolong
kena percikan kembang apinya. Banyak. Atau karena terlalu panas, bolongnya
semakin mantap. Termasuk rok abu-abuku juga jadi korban dalam hal ini.
Kedua,
tidak semua santriwati mempunyai persediaan minyak tanah. Malas membeli,
mungkin. Include me. Haha. Proses
kreatif dimulai. Apapun yang sekiranya bisa digunakan untuk menyalakan api di
arang itu, kami manfaatkan. Mulai dari kertas kardus, kertas koran, kertas buku
pelajaran yang nilainya jelek. *ups* Plastik juga oke, entah plastik bening,
kresek hitam, kresek putih, belang-belang, apapun warnanya yang penting plastik.
Hanger yang patah pun kami gunakan.
Sulut api, jadilah. Step selanjutnya kipit-kipit agar arang mau menyala. Lalu
siap digunakan setelah panasnya dirasa pas. Setiap beberapa menit harus dikipasi
lagi dan ditambah arangnya agar tetap bisa beroperasi dengan lancar jaya.
Satu
hal yang selanjutnya ini yang bikin mangkel. Kalau dihitung-hitung, santriwati
ada sekitar 50 orang. Benda purbakala
itu sih ada enam sebenarnya, tapi yang bisa dipakai hanya dua buah, Saudara!
Betapa antrinyaaaa hendak menggunakan barang
berharga itu. Terkadang, karena malas menunggu, tidur saja lah. Walhasil,
berangkat ke sekolah dengan seragam kusut (mencerminkan kemalasan orangnya,
duh~ )
Pengasuh
putri kami, KH Dimyati. Pernah Bul Lurah saat itu, tahun 2007, Mbak Durroh
bernegosiasi dengan beliau agar mengizinkan penggunaan setrika listrik. (Jaman wis modern, Rek). Hasilnya, nothing. Dilanjutkan negosiasi Bu Lurah periode berikutnya, Mbak Binti Mahmudah.
(Regane areng mundak larang, Bro. Cobo mbok pikir, nek kayu ning alas do entek
digawe areng piye?!) Hasilnya sama saja. Aku sih, karena tidak ikut audiensi, jadi nggak tahu jawaban Pak
Dim apa. Seharunya memang Mbak Binti cerita sih ya, secara, aku adalah teman
sekamarnya, sekaligus sekretarisnya. Mungkin aku saja yang pikun. Hhh.
(Al-mukarrom, KH. Dimyati. Simbah, Abah, Bapak, Papi kami)
Bu
Lurah selanjutnya, Nafisatur Rahmah, yang seangkatan denganku, mungkin sudah
angkat tangan. Terima nasib saja. Hyaaa….
Begitu
lah, kira-kira 3 tahun, setrika itu menjadi barang berharga dan berjasa bagi
kami.
Sekarang, aku sudah lulus kuliah. Mengenang
hal itu, membuatku sadar akan satu hal. Cerita tentang setrika arang.
Mengajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan. Mungkin itu salah satu cara Pak
Dim untuk mendidik kami. Entah mata hati yang buta, hingga tak menyadari hal
yang sebenarnya bijak itu. Ah, emosi remaja.
(note: dengar-dengar, sekarang di sana
sudah boleh menggunakan ‘setrika modern’. Hehe)
***Yogyakarta,
9 Mei 2015***
Jazakumullah, Abah Dimyati.
Dan untuk
teman-teman DQ, semuanya. Aku kangen!
Semoga kita
senantiasa diparingi kesehatan, dan
kebahagiaan lahir batin, Aamiin.
eh la kok foto brandal DQ dipost :-D
ReplyDeletehhh... enek e kui :D
ReplyDelete