Tulisan ini diambil dari situs mojok.co dan akun FB Mbak Wulan Darmanto. Ada linknya kok di artikel itu, bisa diklik untuk membaca dari sumber aslinya. ;)
Bagus banget ini buat kamu, kamu, kamu, yang lagi semester akhir, yang lagi sibuk ngerjain skrip-sweet
itu. Hehe. Dulu aku nggak mikir sejauh ini juga, sih. Karena merasa dia termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang berjasa aja. Lagian nih ya, dia lulus setahun sebelum aku. Dia udah
nulis namaku duluan di skripsinya. ((MERASA BERHUTANG UNTUK NULIS JUGA wkwk)).
Namanya orang lagi kasmaran ya kan, merasa yakin aja kalo si dia bakalan jadi
jodoh. ((JODOHNYA SIAPA?))
Alhamdulillahnya, dia
jodoh saya :)
Aku nggak bisa ngebayangin aja kalo yang terjadi nggak seperti ini. Dia
nulis nama ‘orang lain’ (red: mantan), misalnya (sebelum kenal sama aku). Aku
ini orangnya cemburuan banget soalnya. Bisa-bisa
kusobek-sobek pas bagian itu. Wkwk.
Heh, betewe aku tiba-tiba ingat aja sama seseistri yang ogah banget
dipoligami. (Nggak begitu berkaitan sama tulisan ini, sih. Kan aku bilang cuma tiba-tiba
ingat aja. Haaa). Dia nulis di kolom komentar waktu ada give away di akun
facebook seorang penulis, Amalia Sinta. Pertanyaannya tuh, tentang fakta
mengenai diri sendiri. Nah, salah satu fakta dari seseistri itu (aku lupa
namanya, mon maap), kurang lebih begini,
“Aku tuh ogah banget dipoligami. Bukan karena aku cinta mati. Tapi rasanya
kok aku ini ‘enggak banget’ ya, misalnya sampai dipoligami?”
Haha oke. Sekilas aja. Lucu aja menurutku pendapatnya. Tapi, iya juga nggak
sih? :D
MOJOK.CO – Simalakama
menulis nama pacar di skripsi: nggak ditulis pacar merasa tidak dicintai,
ditulis bikin sesal di kemudian hari. Hadeeeh.
Nulis nama
pacar di skripsi dengan
kalimat cinta serimbun beringin, harapan setinggi langit, nggak tahunya putus,
dan skripsi tersebut telanjur abadi menghuni rak buku kita, siapa yang pernah
begini? Yang mau ngacung jangan sungkan-sungkan ya. Tenaaang… Anda tidak
sendirian.
Yang aman dari
kutukan menulis nama pacar (yang akhirnya terabadikan sebagai mantan) juga
tenang… jangan jemawa. Kasihanilah saudara kita yang menyesal tiada ujung
akibat nulis nama di skripsi dan ujung-ujungnya nama tersebut jadi nama yang
paling dia benci.
Entahlah apakah
hari ini mahasiswa masih mencantumkan nama pacar di skripsi atau tidak. Di
angkatan saya dulu, nama pacar ini menjadi salah satu hal terkeren untuk
dicantumkan pada prakata skripsi. Setelah Allah, dosen pembimbing, guru-guru,
orangtua, teman, dan sahabat, nama khusus ini justru biasanya ditulis paling
panjang dan berkesan.
“Untuk Kundang,
yang telah sangat membimbing dan menghayati cinta kasih di antara kami hingga
skripsi ini bisa selesai.”
“Untuk Cemplon,
kaulah satu-satunya tumpuan saat aku kehabisan ide menulis skripsi. Terima
kasih telah menemaniku menulis dari Isya hingga fajar tiba. Cintaku padamu
abadi.”
Pokoknya, untuk
orang spesial, bahasa yang ditulis juga spesial.
Jika akhirnya
si orang spesial ini beneran jadi orang spesial untuk selamanya, atau pendek
kata menikah dengan kita, ya baguslah. Membuka prakata skripsi ini bisa kita
lakukan di sore hari yang gembira, dengan minum teh dari cangkir asmara sambil
mengenang lagi zaman penulisan skripsi yang gegap
gempita oleh cinta.
Eeer, tapi
bagaimana kalau nggak lama setelah skripsi di-launching, jalinan asmara
malah bubar?
Bila sudah
demikian, jangankan mau buka prakata, liat skripsi terjajar cantik di rak buku
aja males. Masih untung itu skripsi ngga dibakar. Dan tiap lihat sampul
skripsi, batin kita langsung nyesel.
“Apeeeuuu
banget deh dulu aku nulis beginian.”
Apalagi kalau
kita akhirnya menikah (dengan orang lain, tentu saja) dan pasangan kita ini
tipe yang lumayan sensitif dan cemburuan. Sebaiknya, skripsi itu segera
dikarduskan, taruh di kolong tempat tidur, dan jangan dibangkitkan lagi demi
ketenteraman rumah tangga.
Kalau pasangan
kita tipe sanguin dan cuek, paling banter ya dicengin aja.
“Cieee… yang
dulu kalau nulis skripsi ditemeniiin….”
Walau nggak
menimbulkan perang,
Cuma rasanya
kok tetap menyesal dan malu, kenapa juga dulu seheboh itu? Sekasmaran itu? Dan
bagaimanapun cueknya, tetap saja kok, pasangan pasti akan bertanya dan
berimajinasi: Dulu secinta apa? Hubungannya sejauh mana? Dan banyak pertanyaan
lain yang semuanya bermuara dari satu nama yang terukir abadi itu.
Kata orang,
yang namanya masa pacaran, rasanya memang dialah yang terbaik untuk kita.
Selalu begitu. Tapi, coba ingat, selepas keluar dari gedung wisuda, apa saja
bisa terjadi. Termasuk kemungkinan berganti haluan dan berpindah perasaan.
Jadi, mending
cari aman. Tulislah nama
yang memang benar-benar selamanya tidak akan putus hubungan dengan kita:
keluarga. Kalau masih pengin nulis kalimat dedikasi buat doi menunjukkan rasa
cinta dan terlihat keren, mungkin cara ini bisa ditiru. Tulislah kalimat puitis
untuk dia yang selama ini mengganggu tidur dan sarapanmu, tapi jangan pernah
sebutkan namanya di situ.
“Untuk belahan
jiwaku, semoga skripsi ini kelak bisa kita baca berdua di suatu sore yang
gembira….”
Dengan
demikian, selamanya skripsi akan jadi pajangan indah di rak buku kita tanpa
perlu jadi sumber petaka dalam rumah tangga.
Untuk kawan
yang telanjur menulis nama #PacarTapiMantan di skripsi atau karya ilmiah, atau
bahkan buku yang pernah ditulis, ini pesan saya: Yang sudah ya sudah. Mau
menyesal kayak apa pun, itu nama udah kadung di-print. Mau di tip-ex
juga tetep ada noda kan. Btw sekarang masih musim tip-x nggak sih?
Jika skripsi
berukir nama mantan ini mengganggu kebahagiaan rumah tangga, sudahlah
dikardusin saja. Toh, biasanya kita malas membuka ulang skripsi. Kecuali yang
skripsinya dijadikan buku yang dijual bebas.
Nah untuk kawan
yang saat ini sedang proses mengerjakan skripsi,
gimana? Yakin nih mau nulis nama pacar di situ? Yang udah-udah sih pada nyesel
lho. Hwehehehe.
Rupanya, gara-gara tulisan ‘Menulis Nama Pacar di
Skripsi” beberapa waktu lalu, muncullah gerakan baru: mengecek skripsi
pasangan.
Ini sebenarnya ga saya sarankan sih ya. Dan karenanya
risiko harap ditanggung sendiri-sendiri hlo.
Ha wong beban saya juga udah berat. Sudahlah nama saya
ngga ada di skripsinya, ada nama orang lain pula. Hahahahahaha (hallo
halloooo…cek cek satuu duaa tigaa..tes..tes.. yang merasa namanya tertera di
skripsi suami saya harap hubungi saya segera dalam 1x24 jam…)
Pedih nggak rasanya, begitu tau bahwa ternyata kita
bukan cinta pertamanya?
Yang punya pengalaman seperti ini jawabnya dalam hati
aja ya 😁
Pedih nggak pedih lah.
Pedihnya kalau kita teruus aja inget, ngungkit, ga bisa lepas
dari bayang-bayang mantan pasangan kita.
Dia secantik apa, sama kita gemuk mana, dulu IPK nya
berapa, tas-nya dari kulit asli apa kulit KW,semua hal kita banding-bandingkan
dengan diri kita.
Mau dikata kita yang menang pun, rasa insecure akan
hadir dalam hal lain:
Dulu pacarannya sejauh apa, udah jalan-jalan kemana
aja, kalo makan berdua suap-suapan ngga. Kalo ngerjain skripsi di kost sampe
pagi ngga.. dan seterusnya..dan seterusnya..
Kalau dikata pacarannya aman-aman saja, hadir lagi
dong ketakutan lain:
Kira-kira dia masih mengenang mantan terindahnya ngga.
Ngebandingin dengan kita ngga.
Padahal nih ya, ga ada itu istilah ‘MANTAN TERINDAH’
Bah! Kalo indah ya kenapa ngga dikawin. Yekan….
Kenapa dia jadi mantan. Ya karena tidak bisa
dipersatukan. Titik.
Trus kenapa dulu doi dan mantannya ga bersatu?
Stop lah. Kayaknya ga usah kita terlalu kepo sejauh
itu daripada sakit hati begitu tau cerita aslinya.
Percayalah, makin kita tau, makin pula kita sakit
hati.
Nah, kenapa bisa dibilang ngga pedih?
Ya karena ini sebenarnya bukan hal prinsip dalam
hubungan kasih sayang kok. Itu masa lalu. Sekali lagi M..A..S..A.. L..A..L..U.
yang orangnya saja sebenarnya juga tidak suka mengenang masa lalu itu.
Ga percaya?
Coba deh tanyain ke pasangan. “Beb..dulu kenapa sih
suka sama si bunga kanthil itu? Ceritain dong,.awal kenal gimana…”
Saya rasa sebagian pasangan pilih menjahit mulutnya.
Mereka tidak akan nyaman untuk bercerita.
Seperti teman saya pernah bilang melalui obrolan WA
kami yang melankolis,
"MANTAN = KESALAHAN".
Dan tidak pernah ada orang yang suka jika kesalahannya
diungkit di depan mata.
Jadi gimana dong, apa yang harus dilakukan jika
ternyata kita bukanlah cinta pertama pasangan?
Ya ngga gimana-gimana.
Biarkan saja. Meski bukan yang pertama, tapi faktanya dia
memilih kita.
Entah milih karena kepaksa apa gimana, tapi endingnya
milih juga kan 😂
Lagian saya yakin kok, juaraaaang banget orang yang
hanya punya satu cinta dalam hidupnya. Cinta pertama sama si anu, lalu tunggu
punya tunggu…hingga akhirnya berhasil nikah pun sama si anu. Tanpa melirik ono,
ini dan unu.
Kebanyakan yang terjadi di dunia bukan sinetron ini
adalah, cinta pertamanya memang anu. Tapi di tengah pencarian sempat juga lah
melipir ke si unu, atau sedikit berbunga-bunga kalau si ono ngasih perhatian.
Meski akhirnya pas nikah balik lagi ke si anu, tapi
udah sempat juga kan merasakan perasaan suka pada yang lain?
Mus Mujiono pernah bilang dalam lagu-nya:
‘Engkau bukan yang pertama, tapi pasti yang terakhir’
‘Di dirimu, kutemui arti hidupku’
Meski ini sangat gombal, tapi ada benarnya. Orang yang dinikahi,
pastilah orang yang kita inginkan kehadirannya dalam kehidupan kita, sampai
kita mati.
Mantan, semanis apapun itu, hanya bisa dikenang.
Tapi pasangan, bukan untuk dikenang.
Ia hadir, untuk menenangkan kekacauan (hati)
Memenangkan pertarungan (hidup)
Dan menyiram perasaan (cinta)
Menjadi
hati, hidup, dan cinta seseorang, jauh lebih menyenangkan kan daripada sekadar
dikenang? 😉
Penulis buku 'Drama Cinta'
https://mojok.co/wulan-darmanto/esai/jangan-tulis-nama-pacar-di-pengantar-skripsi-jangan/
https://m.facebook.com/wulan.darmanto/posts/10211738058227121
0 comments :
Post a Comment