Home » , » ParenThink: Karena Hanya Orangtua Cerdas yang ...

ParenThink: Karena Hanya Orangtua Cerdas yang ...




ParenThink
Cover buku ParenThink

Judul      : ParenThink
Penulis   : Mona Ratuliu
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Kedua, Februari 2016
Halaman: 178 halaman
ISBN      : 9786023850570

 
Blurb buku ParenThink
Pada dasarnya aku memang suka buku parenting yang sifatnya sharing. Sejenis Happy Little Soul, Sharingnya Sinta, gitu. Ya, aku telah membaca kedua buku itu sebelumnya. Waktu aku tau ternyata ada buku ParenThink ini, langsung suka aja. Eh, ada lho, artis yang concern sama ilmu parenting gini, artis yang nggak ngartis melulu. *Haha, apaan sih -_-
Walaupun buku ini terbitnya terhitung udah lama ya, tapi masih asyik aja kok dibaca sekarang pun. Masih relevan. Aku sukanya gini, lho. Bunda Mona dengan jujur mau menceritakan pengalamannya termasuk kesalahan-kesalahan yang dengan/tanpa sengaja dia lakukan saat masih menjadi ibu baru, --sekarang sih anaknya yang pertama udah belasan tahun. Dari kesalahan-kesalahan itulah, dia belajar untuk menjadi lebih baik, dan kita pun bisa belajar darinya. Tak ada orangtua yang sempurna, memang.
Btw, berhubung Bunda Mona adalah seorang artis, yang mengomentari bukunya juga dari kalangan papan atas. Nilai plus, atau bonus? :D

See? Yang komentar artis-artis semua :D

Menjadi sumber belajar untuk anak memang tidak mudah. Karena itu, orangtua perlu ilmu dan juga belajar untuk memperdalam skill “bersepakat dengan hati dan kepala.” Kalau hati dan kepala kita tidak kompak, kita bisa gagal membimbing anak mencapai kedewasaannya. Sebab dalam proses belajarnya, anak butuh konsistensi. Proses belajar yang tidak konsisten bisa menyulitkan bahkan menyesatkan. Tega? Ya! Sama ‘tega’-nya dengan Tuhan yang memberikan tantangan-tantangan hidup kepada kita agar kita menjadi manusia yang lebih berkualitas. (hlm.39)
Nah, jangan melulu ngurak-ngurak anak kita buat rajin belajar ya. Kita pun perlu terus meng-upgrade dan meng-update ilmu kita, Mak. Belajar sepanjang hayat adalah WAJIB! Ya nggak cuma ilmu parenting, ilmu-ilmu lainnya kan juga buanyak.
Aku setuju sih, sama pendapatnya Dude Harlino dan Alyssa Soebandono tentang buku ini. Sangat menginspirasi, mudah dipahami dan diterapkan. Ya, karena sifatnya sharing, bahasanya pun ringan, jadi mudah masuk ke otak (saya, haha. Maklum yes, aku agak lemot kalau membahas yang berat-berat, apalagi RINDU. Ya kali, malah bahas DILAN!). Yang paling aku suka dari buku ini, adalah bagian Parenting ala Indonesia.
Di awal-awal masa belajar ilmu parenting, entah kenapa kebanyakan referensi yang saya dapatkan malah berasal dari luar negeri. Setelah menggali lebih dalam, saya baru sadar bahwa Indonesia kan juga memiliki Bapak Pendidikan yang ilmunya tidak kalah hebat dari dengan para ahli parenting luar negeri! Bukan berarti teori-teori yang dikemukakan para ahli parenting luar negeri itu salah, lho, tetapi yang pasti kita harus cermat memilih mana yang paling sesuai dengan kebutuhan, budaya, dan karakter masing-masing keluarga. Untuk keluarga saya, saya memilih teori dari Ki Hajar Dewantara yang, menurut saya, paling sesuai dengan karakter anak-anak Indonesia. (hlm. 57)

Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing madyo mangung karso, Tut Wuri Handayani. (Ki Hajar Dewantara)

Pasti nggak asing kan, dengan nama dan semboyan Bapak Pendidikan kita ini, Mak? (Aku ingat banget nih, dulu waktu SD, seragam batik hari Rabu-Kamis ada tulisan Tut Wuri Handayani). Nah, nggak hanya di sekolah nih, yang lebih penting justru penerapannya di keluarga kita masing-masing. Pendidikan pertama dari rumah/keluarga, ye kan?

 Melalui tiga semboyan ini, Ki Hajar Dewantara berharap tunas-tunas bangsa Indonesia tak hanya berkembang dari sisi daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), tetapi juga daya karsa (konatif).
Kalau bisa kita simpulkan nih, pola asuh yang ditularkan oleh Ki Hajar Dewantara bermaksud untuk memberikan pendidikan menyeluruh yang meliputi pola pikir, hati, dan tangan dalam bentuk kreativitas. Nah, kalau pola asuh didik itu kita jalankan secara kontinu kepada anak-anak kita, diharapkan nantinya mereka tak hanya menjadi manusia yang kreatif, tetapi juga humanis. (hlm. 58)
By the way, Mak. Dikit melenceng tapi penting. Kalau Sampean masih saja berkutat dengan perdebatan orangtua mana yang lebih baik, aku rasa, pendapat Bunda Mona ini lebih bijak deh, ketimbang berdebat mulu.
... Jadi, sebenarnya tidak ada orangtua yang paling ideal, apakah yang selalu bersama anak (full time mother) atau yang jarang bertemu dengan anak (working mother). Karena, yang terpenting bukan banyak atau sedikitnya waktu pertemuan, tetapi seberapa banyak manfaat dan kenyamanan yang orangtua berikan saat bersama anak. (hlm. 89)

Ehe, penekanannya pada I B U ya?
Kenapa?
Masing-masing ibu pasti sudah tahu jawabannya.
Udah, gitu aja.

0 comments :

Post a Comment

Visitor